Kita sering mendengar bahwa semua aktivitas kita, selain amalan yang termasuk ibadah mahdhah, bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat. Makan, minum, tidur, jalan-jalan, mengobrol, dan semua perkara mubah lainnya bisa mendatangkan pahala bagi kita. Lantas bagaimana jika seseorang berbuat maksiat dengan niat beribadah kepada Allah? Dalam hal ini orang-orang yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad saw. terkelompokkan menjadi tiga.
Salah tafsir
Pertama, mereka yang menganggap perbuatan maksiat dan dosa dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Misalnya, orang yang senang melihat wajah gadis yang cantik dan menganggapnya sebagai perbuatan yang diperintahkan oleh syariat atau mengira hal itu sebagai ibadah yang dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka melandasi pendapatnya dengan sebuah ayat, "Apakah mereka tidak memerhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah?" (Q.S. al-A'raf: 185)
Menurut mereka, ayat ini bersifat umum, mencakup semua jenis ciptaan Allah, termasuk wajah gadis yang cantik. Bukankah wajah yang cantik termasuk ciptaan Allah yang paling baik dan paling indah?
Mereka telah memahami ayat ini secara keliru, tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Maksud dari "memerhatikan" pada ayat di atas adalah memerhatikan dengan tujuan supaya kita mengenal Allah, beriman kepada-Nya, dan membuktikan kebenaran para rasul tentang semua perkara yang mereka sampaikan. Sementara memandang wajah gadis yang cantik atau pemuda yang rupawan yang menimbulkan hasrat membangkitkan syahwat tegas dilarang oleh Allah. Allah berfirman,
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya." (Q.S. an-Nur: 30)
Nabi saw. bersabda, "Zina mata adalah memandang." (H.R. al-Bukhari)
Sebagian mereka bahkan bertindak berlebihan. Mereka mengemas perbuatan haram dengan kemasan ibadah dan kebaikan. Mereka mengklaim, cinta mereka kepada gadis-gadis yang cantik dan para pemuda yang tampan semata-mata karena Allah. Di antara mereka ada membantu mempertamukan orang yang sedang merindukan seseorang dengan orang yang dirindukannya padahal keduanya belum terikat dengan tali pernikahan. Membantunya bertemu dengan orang yang dirindukannya akan membuatnya terbebas dari kesengsaraan menanggung rindu. Kata mereka, "Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa meringankan seorang mukmin dari suatu kesedihan dunia, maka Allah akan meringankan orang itu dari satu beban kesedihan pada hari kiamat.'?" Astaghfirullah.
Karena bodoh
Kedua, mereka yang menganggap perbuatan haram tidak dapat menjadi ibadah dengan sendirinya. Namun, mereka beranggapan bahwa perbuatan itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka menduga perbuatan itu dapat menyelamatkan mereka dari perbuatan terlarang. Misalnya, mereka mencari nafkah dengan cara-cara haram seperti riba, merampok, menyuap; atau berjualan barang haram seperti babi atau minuman keras. Mereka berdalih, semua itu mereka kerjakan demi kemajuan, demi menghidupi keluarga, dan demi perjuangan di jalan Allah.
Mengenai hal ini al-Ghazali berkata, "Niat tidak akan bisa mengubah status kemaksiatan. Orang tidak bisa begitu saja berdalil dengan keumuman hadits Rasulullah saw yang berbunyi, 'Setiap perbuatan itu tergantung niatnya,' kemudian mengatakan bahwa perbuatan maksiat bisa berubah menjadi ketaatan.
Al-Ghazali menyebut orang seperti itu layaknya orang yang mengumpat seseorang demi menjaga orang lain, memberi makan orang miskin dengan harta orang lain, membangun sekolah, masjid, atau panti asuhan dengan barang haram, lalu diniatkan untuk kebaikan.
"Semua itu merupakan wujud kebodohan," kata al-Ghazali lebih jauh. "Niat tidak akan bisa melepaskan seseorang dari kezaliman, permusuhan, dan kemaksiatan. Sungguh, meniatkan kebaikan pada tindakan kejahatan adalah kejahatan yang lain. Jika seseorang sudah mengetahui hal itu tetapi masih juga melakukannya, berarti ia telah menentang syariat."
Keumuman syariat
Ketiga, orang-orang yang meyakini bahwa ada beberapa perbuatan haram yang bisa dijadikan ibadah bagi kelompok atau orang tertentu.
Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan, ada sekelompok orang yang menganggap seorang wali boleh melakukan maksiat kecil dan Allah menghalalkan baginya apa-apa yang tidak dihalalkan bagi yang lain. Beliau menegaskan, "Yang lebih jahat lagi adalah orang yang yakin bahwa perbuatan dosa semacam itu adalah ibadah, karena dilakukan oleh seorang wali Allah."
Ibnul Jawzi mengutip perkataan seorang sufi, "Nyanyian itu haram bagi kalangan awam. Sebab mereka akan terus berkutat dalam hawa nafsu. Sedangkan bagi ahli zuhud, nyanyian itu mubah. Sebab ia dapat meningkatkan kesungguhan mereka. Adapun bagi kelompok kami, hukumnya sunnah karena dengan nyanyian itu hati kami menjadi hidup."
Tentu saja pendapat ini salah. Hukum haram yang ditetapkan oleh Allah bersifat umum. Meliputi semua kalangan. Mencakup semua tingkatan manusia tanpa pandang bulu. Tidak ada kelompok atau orang yang dikhususkan dari ketetapan ini, selain orang yang dikecualikan oleh Allah karena keadaan terpaksa, seperti orang yang terpaksa makan bangkai.
Harits al-Muhasibiy menyatakan bahwa ikhlas tidak berlaku untuk perbuatan haram, seperti memandang sesuatu yang haram, misalnya, lalu berdalil bahwa ia tengah merenungkan ciptaan Allah. Dalam konteks ini, ikhlas tidak berlaku dan tidak bernilai ibadah sama sekali.
Posting Komentar